April 22, 2011
Untukmu 37
Sahabatku, usai tawa tadi, izinkan aku berbicara, dan hanya lewat untaian kata aku bisa mengatakannya. Bahasa yang kutulis kini hanyalah perasaan dan pesan. Bumi kini menyisakan keheningan malam. Bulan , perlahan-lahan menyingkapkan kegelapan. Dipantai tadi kamu tampak sendiri kawan, tak ada lagi jejakku di sisimu. Kupandangi langkahmu yang ringan dan tampak seperti melayang, berjalan dengan irama konstan. Kamu tak seperti orang yang berjalan di atas pasir, yang kebanyakan tampak berat dan canggung. Matamu mencari bola merah yang disembunyikan arakan awan mendung. Sesekali kau buang pandangan ke arah lain, sekadar meyakinkan kau tak sendiri di dunia ini. Sesekali pula kau buang pandangan ke belahan langit di bahu kananmu, yang berwarna-warni antara ungu, biru, dan abu, yang menggetarkanmu sama hebatnya dengan bola merah yang kautelisik sejak tadi. Kau berlari menuju ombak, membawa perasaan seberagam langit saat senja; antara duka, murka, dan cinta yang entah harus dibuang ke mana. Saat itu kau ingin bergabung dengan rombongan awan yang terhipnotis masuk ke dalam rekahan ufuk barat. Dan berenang saat laut pasang mendadak menjadi pilihan yang masuk akal bagimu. Ingin rasanya aku ikut berlari, berteriak agar kau kembali, mencengkram bahumu agar kau tahu aku ada disini. Namun bahasaku tinggal rasa. Dan entah bagaimana caranya agar rasa bisa bersuara jika raga tak lagi ada. Saat kau rasa, pasir yang kau pijak pergi, saat itulah aku merasakan, akulah lautan, memeluk pantaimu erat. Satu cermin kembali memantulkan bayangan diriku, aku belum bisa menerima kepergianmu kawan. Dimana aku akan melipat tangan di dada sambil memandangi bayanganmu, dan aku akan memandang kosong ke satu ttik, seolah di titik itulah halte tempat berbagai kenangan tentang aku dan kamu berkumpul dan siap diangkat ke seluruh tubuhku. Mulutku selalu berkata-kata tentangmu, mataku bercahayakan kehadiranmu, dan tak lama lagi kamu akan terlapisi saput yang tak bisa kutembus. Sebentar lagi, miliaran panah adalah jarak kita. Melukiskanmu saat senja, memanggil namamu ke ujung dunia, tiada yang lebih pilu, karena nanti tiada yang menjawabku, selain hatiku dan ombak berderu. Memandangimu saat senja, seperti berjalan diatas dua dunia, tiada yang lebih, tiada yang lebih rindu, selain saat kita bersama.
Sahabat, telah jauh kita mendaki. Sesak udara di atas puncak khayalan. Jangan sampai kita ada disana. Sahabat, telah jauh kita mendaki. Katakanlah kita ada disini, di puncak prestasi. Sampai jumpa kawan. Sampai bertemu kembali dengan membawa kesuksesan. Menghamburlah kawan, kemarilah, mendekatlah, dekaplah saat ini saat terakhir kalinya kita bersama mendekap erat satu sama lain hingga kakimu melayang di udara. Ke dalam perasaan inilah engkau akan bermuara, ke dalam perasaan inilah engkau akan pulang dan bertemu aku lagi. Dan perasaan itu dapat engkau nikmati sekarang, di dalam hati. Tanpa perlu mati. Sekarang !!! Teteskanlah air matamu dengan bahasa senyuman. Rasa hangat ketika tubuh kita bertemu, rasa lengkap ketika jiwa kita mendekat, rasa rindu yang tuntas ketika kedua pasang mata kita saling beradu. Rasakan aku, sebut namaku seperti mantra yang meruncing menuju satu titik untuk kemudian melebur, meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam untuk menyapamu. Kita merasakannya kawan. Tibalah waktunya di penghujung rinduku. Perpisahan adalah kenyataan untuk kita. Kenanglah diriku, pahit dan manis saat kita bersama. Kalian sahabatku yang sangat aku sayang bahkan sudah aku anggap sebagai keluargaku. Semoga kita akan selalu menjadi bintang yang indah menyinari angkasa. Osis periode 37.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: